Senin, 30 Mei 2011

Sebuah refleksi untuk aksi


Oleh: Syamsudin Kadir
”Seluruh lembah, gunung dan gurun yang pernah kulewati, pasti akan selalu ku ingat sekaligus ku bayangkan segenap strategi yang akan ku gunakan, jika suatu saat aku berperang di tempat itu”.
(Kholid bin Walid ra.)
        Itulah ungkapan Kholid bin Walid ra. ketika beliau mengenang strategi kardus yang digunakannya dalam perang sekaligus prestasi militer paling prestisius yang pernah dicapai.
Ini merupakan pembuktian paling nyata dari gelar yang diberikan oleh Rasulullah Saw. kepadanya sebagai ”Pedang Allah yang selalu terhunus”.
        Keberhasilan sekaligus gelar yang diperoleh Kholid bin Walid ra. merupakan akumulasi dari kesungguhannya yang berawal dari imajinasi. Karena dalam ruang imajinasilah pikiran-pikiran cerdas itu berasal. Sebab, dari ruang pikiranlah permulaan dari seluruh strategi kemenangan-kemenangan itu direkayasa dan diperoleh. Imajinasi adalah pikiran cerdas yang bertolak dari bingkai pemikiran yang dikenal dengan paradigma. Jadi, imajinasi adalah isinya, sedangkan paradigma adalah bingkainya.

Seputar Paradigma
        Secara sederhana paradigma bisa didefenisikan sebagai kerangka berpikir, cara memandang, cara memahami, konsepsi dan sistematika berpikir dalam melihat sebuah objek atau kerangka tertentu dalam memahami sesuatu. Atau bisa juga didefenisikan sebagai kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita atau sumber dari sikap dan perilaku (mode of thought, mode of inquiry, mode of knowing).
        Terkait dengan paradigma, defenisi paradigma al-Qur’an yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo berikut ini sangat layak untuk dijadikan sebagai perbandingan. Dalam buku Paradigma Islam, beliau menjelaskan bahwa paradigma al-Qur’an berarti ”suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya”. Walaupun defenisi tersebut bersifat khusus, tapi dalam konteks memahami terminologi ”paradigma”, defenisi tersebut ada relevansinya. Jadi, paradigma gerakan adalah ”suatu kerangka konsepsional yang dijadikan pijakan atau semacam titik tolak dalam memahami realitas sebagaimana sebuah gerakan mematoknya”.
        Kondisi yang kita terima, keadaan yang ada, kenyataan yang kita lihat terkadang merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir. Bahkan dalam galibnya, tidak ada realitas yang tidak berakar pada pikiran kita. Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita apa adanya. Bahkan terkadang apa yang kita pikirkan maka secara sederhana itu adalah diri kita. Walaupun dalam teorinya, pikiran sering diartikan sebagai sebuah ruang kemungkinan dan realitas sebagai ruang tindakan yang telah jadi nyata. Artinya, seluruh ruang realitas kita berada pada ruang kemungkinan yang ada dalam diri kita. Makin besar ruang kemungkinan yang kita bentuk maka ruang realitaspun kemungkinan besar akan besar juga; demikian sebaliknya.
        Untuk itulah, jauh sebelum realitas tercipta di alam kenyataan, hal yang harus kita lakukan adalah menciptakan kemungkinan sebanyak-banyaknya dalam ruang kemungkinan kita; tepatnya pikiran kita. Di antara pesan sejarah yang paling istimewa bagi kita adalah–di antaranya–bahwa realitas-realitas hari ini merupakan buah dari benih-benih yang telah lama ditanam beberapa waktu yang telah berlalu. Berdasarkan pesan tersebut, bisa dipahami bahwa sesungguhnya realitas-realitas yang terjadi pada masa depan adalah buah dari benih-benih pikiran yang kita tanam saat ini.
        Sekarang mungkin kita sepakat bahwa tindakan-tindakan kita muncul sebagai buah dari benih-benih pikiran kita. Realitas diri, kenyataan gerakan juga demikian. Pikiran-pikiran yang bermunculan dan ide-ide yang berkembang dalam diri-diri kita itulah kekuatan yang menciptakan kenyataan gerakan kita. Lalu bagaimana framework gerakan kita ke depan dalam melangkah pasti menuntaskan peran-peran gerakan? Semoga beberapa hal berikut bisa memberikan jawaban awal!
Pertama, Banyak belajar dari sejarah
        Dalam terminologi umum, sejarah sering diartikan sebagai kisah kenyataan yang terjadi di masa lampau. Dalam konteks gerakan, sejarah mesti didefenisikan sebagai kilasan mengenai kejadian di masa lampau yang dijadikan sebagai pijakan untuk masa depan. Jadi, sejarah adalah masa lalu, kini dan masa depan. Karena terminologinya seperti itu, maka mempelajari sejarah adalah memahami secara cerdas fenomena-fenomena yang terjadi pada masa lampau pada masa kini sebagai pijakan untuk menentukan arah ke mana kita melangkah ke dan untuk masa depan. Dalam pemahaman lain, sejarah bisa diartikan sebagai kekuatan memfirasati pesan masa lalu, masa kini dan masa depan.
        Dalam konteks sejarah nubuwah kita dapat memahami bahwa ”orang, sistem dan tempat” merupakan suatu kesatuan yang sangat penting. Untuk itu sebelum ke depan kita melakukan banyak hal, yang mendesak untuk kita fokuskan adalah:
 pertama, menentukan orang yang terlibat. Sudah menjadi maklum bahwa sejarah itu selalu dikonstruksi oleh sedikit orang atau komunitas minoritas. Dan sejarah menceritakan bahwa komunitas yang sedikit itu, jika dikonversi maka jumlahnya bisa jadi lebih banyak atau beberapa kali lipat dari kapasitas manusia kebanyakan. Hal ini misalnya bisa kita pahami dari fenomena masuk Islamnya Umar bin Khothob ra. Pertanyaannya, ”apakah kita mau terlibat dalam komunitas yang sedikit itu?” Jawabannya tergantung pada keterlibatan kita masing-masing. Kemudian yang kedua, membangun budaya generasi untuk berkomitmen dengan sistem atau ideologi yang diyakini, dan yang ketiga, menentukan wilayah ekspansi gerakan sehingga membantu mempermudah kita dalam menentukan fokus gerakan.
Kedua, Konsolidasikan ide yang berserakan
        Kita tentu memiliki keyakinan bahwa setiap manusia pasti memiliki keunikannya masing-masing. Dalam kerangka yang lebih sederhana, bisa dikatakan bahwa pemuda adalah komunitas manusia yang memiliki keunikan dan potensi yang beragam. Dalam runag lingkup  mahasiswa misalnya, mereka merupakan komunitas yang memiliki intelektualitas (gagasan cerdas, daya pikir), nilai moralitas (kapasitas menilai, mengukur), dan kemampuan mendesak perubahan terhadap kondisi yang stagnan seperti menghadapi penguasa yang mengeluarkan kebijakan tapi tidak sesuai dengan nurani rakyat. Nah, potensi-potensi tersebut idealnya bisa dipertemukan dalam ruang-ruang kolektivitas. Artinya, kemauan dan kemampuan untuk menemukan titik temu ide dari berbagai elemen pemuda atau mahasiswa idealnya mesti diagendakan kembali.
Ketiga, Tentukan fokus atau agenda gerakan
        Kebanyakan realitas dikendalikan oleh pikiran. Maka di antara strategi untuk membangun realitas yang mesti kita wujudkan adalah dengan cara mengubah ‘pikiran-pikiran’ kita. Dalam konteks ini–meminjam teori Anis Matta–yang perlu kita pikirkan adalah memikirkan kembali apa yang telah kita pikirkan, mengapa kita memikirkan apa yang kita pikirkan dan mengapa kita memikirkannya dengan cara berpikir seperti itu dan seterusnya. Dalam konteks gerakan, maka yang paling penting untuk dipikirkan adalah menggeser cara menentukan agenda yang mengarah kepada fokus kerja. Jika pikiran kita belum bergeser kepada sesuatu yang lebih penting dari yang kita fokuskan saat ini, maka selama itu pula kita hanya akan mengalami ”ketidaksinambungan” antara apa yang kita impikan dengan apa yang sedang kita kerjakan; atau meminjam istilah Ust. Anis Matta, ”antara beban dan daya pikul yang kita fokuskan”. Dari sinilah kemudian ungkapan ”kita memang harus banyak belajar” menjadi penting dan bahkan mesti diutamakan.

Mengambil Hikmah Sejarah
        Sejarah menceritakan kepada kita bahwa orang-orang besar dalam sejarah selalu direkayasa oleh sedikit orang. Sejarah bahkan ada yang mendefenisikannya sebagai kisah sedikit orang (minoritas) dan menjadi tontonan bagi banyak orang (mayoritas). Sejarah memang selalu direkayasa oleh sedikit orang (minoritas), di mana momentum terlibat mempengaruhinya. Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Fathi Yakan, Sa’id Hawa, Ali Abdul Halim Mahmud, Abdul Hamid al-Ghozali, Musythofa Mashur, Dr. Yusuf Qordhowi telah melalui posisi ini dalam fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin. Merekalah generasi yang merekayasa gerakan Ikhwanul Muslimin pada awal-awal fenomenalnya. Karya-karya mereka merupakan salah satu indikator yang paling akurat untuk mengukur kadar keluasan wawasan dan kedalaman pengetahuan serta warna kepribadian mereka. Ini juga sebagai contoh terbuka kepada kita mengenai tempat mereka dalam sejarah. Keistimewaan mereka tidak cukup di situ, tapi juga pada ruh kehidupan yang menggelora pada setiap kata. Apabila gagasan-gagasannya begitu memukau dan mempesona, maka ruh kehidupan yang menggelora pada setiap katanya telah mengguncang jiwa para pendengar dan pengikutnya: mengubah paradigma mereka, merekonstruksi pikiran mereka, membangun semangat serta komitmen baru pada diri mereka untuk bangkit membangun kejayaan umat. Di masa kini, walaupun kita tidak pernah mendengar langsung pernyataan mereka, tapi dari membaca saja akan sangat terasa betapa ide-ide dalam karya mereka mengalir deras. Meminjam istilah Ahmad Isa ’Asyur yang menghimpun ceramah-ceramah Hasan al-Banna, ”menghanyutkan setiap orang yang mendengarkannya”.
        Kita mesti mengambil hikmah dari peran tokoh-tokoh itu dalam melanjutkan estafeta gerakan dakwah ke seluruh penjuru dunia. Di antara pesan gerakan yang bisa kita ambil dari apa yang mereka perankan adalah adanya perekayasa ulung. Karena itu jugalah, dalam konteks gerakan di masa kini, membentuk basis strategis yang merekayasanya menjadi penting.

Skenario Pembentukan Basis Strategis Gerakan
        Kata Syekh Muhammad al-Ghozali, ”Anda adalah cermin dari pikiran-pikiran anda”. Akar dari semua tindakan, perilaku, kebiasaan dan karakter kita adalah lintasan pikiran yang bertebaran dalam benak kita. Lintasan pikiran itu menyerbu benak kita, kemudian berkembang menjadi memori, dan secara perlahan berkembang menjadi ide atau pikiran. Pikiran itu selanjutnya menukik lebih jauh dalam diri kita, dalam wilayah emosi, dan membentuk keyakinan. Selanjutnya keyakinan menjadi kemauan, dan secara perlahan kemauan berkembang menjadi tekad. Begitu ia menjadi tekad, pikiran itu telah memperoleh energi atau tenaga agar ia terwujud dalam kenyataan.
        Setelah itu, tekad menjalar ke dalam tubuh dan menggerakannya. Maka, lahirlah tindakan. Bila tindakan tersebut dilakukan secara berulang-ulang, maka terbentuklah kebiasaan, dan bila kebiasaan itu berlangsung dalam waktu lama, terbentuklah karakter. Jadi, tindakan adalah output, sedangkan inputnya adalah pikiran. Pikiran adalah referensi yang diperlukan untuk memberi arah, merasionalisasikan sikap dan tindakan, membantu menentukan pilihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memberikan solusi. Agar hal ini menjadi identitas, maka ada beberapa syarat yang harus dimiliki.
        Pertama, kekayaan pikiran. Kekayaan pikiran akan ditentukan oleh dua hal yaitu: kekayaan dan orisinalitas referensi, kemudian kemampuan mengeksplorasi referensi dan memformulasikannya untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman. Kedua hal tersebut akan diperoleh jika adanya interaksi dengan sumber ilmu, seperti buku, ruang-ruang ilmu pengetahuan dan lain-lain. Kita mesti menyadari bahwa di antara krisis besar yang sedang dialami oleh kita sebagai generasi muda saat ini adalah jauhnya jarak antara kita dengan sumber ilmu. Hal ini bisa dilihat dari jumlah orang, terutama mahasiswa, yang masuk ke perpustakaan atau datang ke toko-toko buku yang ada. Atau bisa juga diketahui dari jumlah mahasiswa yang memiliki jadwal khusus untuk membaca atau mengkaji (membedah) buku, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
        Kedua, struktur pemikiran yang kuat dan solid. Kekuatan pemikiran terbentuk ketika variabel-variabel pemikiran tersebut solid dan mempunyai daya tahan terhadap fenomena. Sedangkan struktur pemikiran yang solid akan terwujud jika adanya kejelasan pikiran, keyakinan pada pemikiran, dan kemampuan untuk membahasakan atau ada daya ungkap. Kedua hal ini diperoleh dengan cara, misalnya, berdiskusi sekaligus melakukan eksperimentasi ide dalam agenda-agenda strategis dan teknis gerakan; baik di lingkup internal gerakan maupun pada lingkup eksternal gerakan.
        Ketiga, kemampuan dalam meyakinkan publik. Untuk membangun kapasitas ini, maka yang harus dimiliki adalah penguasaan pada teori yang kita sampaikan ke publik, kemampuan menentukan poin penting dari teori yang kita sampaikan, kemampuan menguasai pola pikir publik dan kemampuan menggunakan bahasa sesuai dengan logika publik. Kapasitas ini biasa dikenal dengan sebutan kepemimpinan ide.
        Kapasitas di atas bukanlah anugrah tanpa usaha. Kata Peter Burwash, ”kepemimpinan yang baik itu artinya mengetahui seberapa banyak dari masa yang akan datang boleh diperkenalkan kepada masa kini”. Masa yang akan datang akan selalu menjadi milik orang-orang yang melihat kemungkinan-kemungkinan jauh sebelum kemungkinan itu menjadi kenyataan. Orang-orang ini mempunyai visi mengenai sesuatu yang dapat menjadi kenyataan, dan berusaha membuatnya menjadi kenyataan. Orang besar selalu berpikir melampaui zamannya. Merekalah manusia-manusia yang dilahirkan untuk masa depan. Tabiatnya adalah tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai hari ini. Bagi mereka masa depan adalah ketidakpastian yang mesti diantisipasi. Karena itu jugalah orang-orang seperti ini mampu mengendalikan masa depan. Pikiran-pikiran besar yang mereka miliki itu tentu bukan untuk disimpan; tapi untuk dimanfaatkan dalam menata realitas keumatan dan kebangsaan yang berada di sekitarnya. Kitakah di antaranya?
        Melihat kenyataan realitas umat dan rakyat negeri ini sudah menghabiskan banyak gagasan, tapi justru perubahan belum begitu ”menjadi” identitas mereka. Lalu, siapa yang salah? Bagaimana solusi penyelesaiannya? Generasi muda merupakan penentu sejarah di masa kini untuk masa depan. Karena itu, setiap komunitas pemuda harus mau dan mampu menata diri. Sebuah kritik pedas yang sering diarahkan kepada gerakan pemuda atau mahasiswa saat ini adalah ketidakorsinilan gagasan atau ide dan kebijakan-kebijakan gerakan mereka. Penyebabnya adalah karena setiap strategi gerakan sering merupakan plagiasi strategi dari apa-apa yang sudah dilakukan atau  diskenarioi oleh kekuatan tertentu. Pada satu sisi hal ini ada baiknya, karena ada proses pelibatan dan pembiasaan. Namun, pada sisi lain, terutama dalam konteks kaderisasi generasi masa depan, hal ini bisa menjadi bumerang yang cukup membahayakan. Generasi muda bisa jadi hanya menjadi pengikut tanpa melatih diri untuk berpikir strategis mengenai banyak hal. Dalam hal tertentu, misalnya, kita bisa lihat fenomena tokoh-tokoh tertentu di berbagai Ormas atau partai politik. Mengapa hal itu terjadi? Bisa jadi karena memang generasi muda tidak memiliki kapasitas atau tidak mau memunculkan diri. Untuk itulah, agar fenomena tersebut tidak berulang terus, generasi muda harus menempa dan menata diri.
        Negeri ini sudah sakit, dan obat yang digunakan untuk menyembuhkannya masih menggunakan obat yang kadaluwarsa; untuk itu tugas generasi muda adalah menyiapkan diri dengan gagasan baru untuk menjadi obat. Karena sesungguhnya yang berumur 40 tahun saat ini tinggal menunggu waktu penutupan umur mereka.
        Umat Islam dan negeri  ini ke depan sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategis. Ini adalah sebuah penegasan bahwa langkah-langkah strategis yang akan mengelola umat dan negeri ini ke depan harus dimotori oleh generasi baru yang memiliki gagasan dan yang mampu bercibaku dengan realita zamannya. Karena logika perubahan adalah penerusan dan pewarisan. Dan peran inilah yang mesti kita pilih.
        Para pemikir strategis adalah orang-orang yang berpikir dalam kerangka kesisteman, menggabungkan banyak disiplin ilmu, dan meramunya dalam struktur pemikiran yang utuh, menjelaskan bagaimana tujuan, cara dan sarana terintegrasi menjadi satu kesatuan. Krisis bangsa ini adalah krisis manusia yang mampu membahasakan nilai bangsa ini dalam dunia realita. Sebagaimana krisis internal umat Islam saat ini adalah sedikitnya manusia yang berpikir strategis. Karena sebagian besarnya terjebak dengan kerja-kerja instan dan ingin cepat menang, tapi pada saat yang sama tidak berpikir bagaimana hidup panjang dan menang. Padahal logika perubahan menjelaskan bahwa pemimpin itu adalah manusia yang mampu menalarkan visi dalam kenyataan dalam waktu yang lama. Dan visi kita sebagai anak kandung Islam adalah hidup jangka panjang dan memenangkan Islam untuk selamanya yang ditandai dengan penghambaan manusia seutuhnya kepada Allah Swt. semata. Ketergesa-gesaan, seperti hanya mau menang tapi tidak mau hidup lama adalah salah satu penyakit yang membawa kita kepada keberhasilan yang ”sekedar” dan ”sementara”. Dalam konteks ini, alangkah baiknya jika kita merenungi pesan gerakan di balik keunikan Qs. ar-Ro’du ayat 17 berikut ini,
”…..Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi…..”
        Kita tentu memiliki pemikiran bahwa setiap gerakan yang dihuni oleh berbagai elemen Pemuda Islam adalah tempat belajar sekaligus sebagai gudang kaderisasi bagi pemimpin masa depan bagi umat dan negeri ini. Dan karenanya, skenario awalnya adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pengkaderan di masing-masing organisasi kemasyarakatan atau kepemudaan serta memperbanyak basis pemikirnya. Fungsi komunitas ini adalah merumuskan strategi seperti pengembangkan gerakan, pengelolaan organisasi, sistem pengelolaan kapasitas dan lain-lain. Itu yang pertama. Yang kedua adalah merumuskan agenda yang mesti dilakukan sebagai turunan dari fungsi pertama, seperti agenda kultural dan struktural, agenda jangka pendek dan jangka panjang.  Kemudian yang ketiga melakukan evaluasi dan penyusunan rencana baru. Singkatnya, komunitas ini mesti menjadi otak utama sebuah gerakan.

Upaya Membangun Tradisi
        Kritik menggelitik yang menghinggapi generasi muda, tepatnya generasi pemuda Islam, saat ini adalah krisis tradisi atau budaya.  Dalam konteks gerakan kita sebut dengan istilah tradisi gerakan. Kita tentu masih ingat dengan fenomena Hasan al-Banna, al-Ghozali, M. Natsir pada zamannya. Mereka adalah pembelajar ulung. Setiap peristiwa adalah gurunya, dan setiap orang adalah referensinya. Dan jika kita perhatikan, ternyata keunikan mereka pada masanya adalah pada kebiasaan mereka dan generasinya untuk melibatkan diri dalam ruang-ruang ilmu pengetahuan, momentum-momentum diskusi dan lain-lain. Artinya, jika generasi muda saat ini memiliki agenda kebangsaan dan keumatan untuk masa depan, maka hal utama yang mesti diagendakan adalah membangun budaya gerakan.
        Fenomena gerakan Ikhwanul Muslimin sepertinya masih relevan untuk dijadikan sebagai objek ”bacaan” kita saat ini. Salah satu di antara penyebab gerakan ini masih bertahan dan menjadi referensi dari berbagai gerakan Islam di berbagai penjuru dunia adalah karena para tokoh inti gerakan ini memiliki multi ilmu, sehingga mereka memiliki gagasan, di mana pada posisi (saat) yang sama juga memiliki kemampuan untuk mempublikasikan gagasan-gagasanya ke ruang publik.
        Dalam konteks membangun dan mengembalikan budaya gerakan, alangkah baiknya jika kita memahami apa yang dipaparkan oleh Dr. Yusuf Qordowi berikut ini. Dalam buku ”Tsaqofatud Da’iyah” beliau menyebutkan bahwa bagi setiap aktivis gerakan dakwah minimal harus memiliki beberapa jenis pengetahuan yaitu: pengetahuan agama (tsaqofah dinniyah), pengetahuan bahasa dan sastra serta kebudayaan, pengetahuan sejarah, pengetahuan humaniora, pengetahuan tentang sains dan pengetahuan tentang realitas kehidupan.
Pertama, Pengetahuan agama (tsaqofah dinniyah)
        Pengetahuan agama (tsaqofah dinniyah) meliputi pengetahuan tentang al-Qur’an, tentang al-Hadits, tentang siroh, tentang fiqih, tentang aqidah, tentang ibadah dan tentang banyak hal. Yang selanjutnya kita harus membaca buku-buku fiqih, kita harus membaca buku-buku misalnya buku fiqih sunnah yang ditulis oleh Sayyid Syabiq, kita harus membaca buku siroh misalnya siroh lbnu Hisyam atau Imta’ul Asma’, siroh yang ditulis oleh Syaikh Muhammad al-Ghozali, atau siroh yang ditulis oleh Abul Hasan an-Nadwi dan buku-buku siroh lain, baik yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu maupun oleh ulama-ulama kita sekarang. Kita harus membaca pengetahuan-pengetahuan itu. Kita harus membaca buku-buku itu semuanya agar kita mempunyai pengetahuan agama yang dalam. Kita harus membaca hadits minimal kitab Riyadush-shalihin. Begitu seterusnya, sehingga kita mempunyai pemahaman keagamaan yang utuh dan mempunyai sandaran yang kuat terhadap referensi­-referensi yang juga kuat.
Kedua, Pengetahuan bahasa dan sastra serta kebudayaan
        Kompetensi ini dimiliki agar kita mempunyai cita rasa yang baik dan mempunyai kemampuan berbahasa yang juga baik. Karena kita tidak bisa menyampaikan dakwah (nilai-nilai gerakan) ini kepada masyarakat dengan cara yang mempengaruhi mereka dengan kuat kecuali apabila kita mempunyai kemampuan bahasa yang baik. Dan kemampuan bahasa sesungguhnya menunjukkan tsaqofah dan pengetahuan seseorang. Struktur pengetahuan seseorang apakah dia kuat atau tidak akan terlihat pada kemampuannya dalam berbahasa. Kemampuan bahasa adalah kemampuan berekspresi. Kita juga harus belajar mengenai masalah-masalah sastra agar kita mempunyai cita rasa yang indah, mampu memahami syair, mampu memahami karya-karya sastra yang tinggi. Hal ini dilakukan karena di antara mu’jizat al-Qur’an adalah sastranya. Kita harus membaca dalam semua bidang pengetahuan itu, sehingga dengan demikian penguasaan terhadap tsaqofah syari’yah yang kita miliki dapat kita bahasakan dengan baik.
Ketiga, Pengetahuan sejarah
        Kita harus baca semua sejarah. Sejarah umat manusia secara keseluruhan, tapi secara khusus adalah sejarah ummat Islam. Sejarah kita telah ditulis dengan berbagai pendekatan, di antaranya dengan pendekatan politik, karenanya kita mempunyai sejarah politik yang begitu panjang yang harus kita ketahui dengan baik. Tetapi kita juga mempunyai satu bagian dari sejarah kita yang jauh lebih penting dari sekedar sejarah politik itu, yaitu sejarah sosial kita. Dalam sejarah sosial ini di antaranya yang terpenting adalah mengenai biografi orang-orang besar yang pernah ada di dalam sejarah Islam. Ulama-ulama kita telah mewariskan satu bentuk penulisan sejarah yang mereka sebut dengan At-Tobaqot, yaitu mereka membuat satu struktur yang memberikan posisi dan kedudukan kepada ulama-ulama, kepada para pahlawan, kepada para pemikir, kepada para pemimpin dalam berbagai bidang di dalam kehidupan dan menulis biografi mereka secara tersendiri.  Sehingga kita melihat ada biografi para pemimpin-pemimpin politik, ada biografi para pemimpin perang, ada juga biografi para ulama. Bahkan pada biografi para ulama dibagi lagi seperti biografi ulama-ulama Syafi’iyah, biografi ulama Hambali, biografi ulama Hanafiyah dan biografi ulama Malikiyah. Dan semua itu harus kita baca dan itu merupakan salah satu warisan paling besar yang ada di dalam khazanah pengetahuan Islam. Dengan cara tersebut, kita bisa mengetahui bahwa betapa besar sumbangsih dan kontribusi peradaban (Islam) kepada seluruh peradaban dunia melalui para ulamanya, melalui para pahlawannya, melalui para pemikirnya dan melalui para pemimpin-pemimpinnya.
        Di antara referensi modern yang harus kita baca tentang sejarah adalah salah satu buku yang ditulis Abul Hasan an Nadwi, yaitu: Rijalul fikri wa da’watil Islam. Buku ini membahas Tokoh Da’wah dan Pemikir di dalam Islam, di mana dalam seri ini beliau menjelaskan tokoh-tokoh penting yang telah mempengaruhi perkembangan pemikiran dan da’wah Islam sepanjang masa dari semenjak Rasulullah Saw. sampai hari ini. Kita harus membaca buku-buku itu dan mencoba memadukan antara pengetahuan yang lama dan juga pengetahuan yang baru. Kita harus membaca referensi yang ditulis oleh ulama-ulama dahulu dan juga ditulis oleh ulama-ulama kita saat ini. Sehingga dengan demikian kita mempunyai pengetahuan yang utuh, yang tidak terpecah-pecah, yang tidak tergoyahkan. Selain kita mempunyai pengetahuan yang mengakar pada sejarah masa lampau, kita juga mempunyai akar pada sejarah kekinian kita.
Keempat, Pengetahuan humaniora
        Pengetahuan humaniora yaitu kumpulan-kumpulan pengetahuan yang terkait dengan manusia, misalnya ilmu politik, ilmu sosiologi, ilmu jiwa, antropologi dan lain sebagainya, yang pusat kajiannya adalah manusia. Kita harus mengetahui pengetahuan ini, karena kita juga harus memahami manusia (diri) kita. Pertanyaan yang menghubungkan manusia dengan kekuasaan yang kita sebut dengan politik. Yang menghubungkan mereka dengan sesama mereka kita sebut dengan sosiologi, sebagai makhluk kebudayaan dan lingkungan hidup mempengaruhi mereka kita sebut dengan antropologi, dan itu semua merupakan pengetahuan yang saling terkait. Akan tetapi apabila kita mulai membaca pengetahuan-pengetahuan sosial humaniora ini kita harus benar-benar ekstra hati-hati, karena sebagaian besar referensi dalam bidang ini ditulis oleh non muslim.
        Karena itulah upayakan untuk membaca tulisan-tulisan dalam bidang ini yang ditulis oleh para penulis muslim. Tapi jika kita harus membaca tulis-tulisan yang ditulis oleh penulis non muslim, carilah penulis yang benar-­benar taat dalam bidang itu dan memiliki kredibilitas atau yang benar­-benar mendalam dalam bidang itu, sehingga ketika kita membacanya akan mendapatkan pengetahuan dari sumber yang kuat. Selanjutnya, timbanglah pengetahuan itu dengan timbangan syari’ah. Karena pijakan seorang muslim dalam membaca warisan orang lain adalah dengan tetap berpijak pada timbangan syari’ah, membacanya dengan akal yang dipenuhi oleh ilmu-ilmu pengetahuan Islam, sehingga dengan demikian dia tidak hanya mampu memahaminya tapi juga mampu menganalisanya dan mampu memilah-milah mana yang mesti diterima dan mana yang harus ditolak dari  warisan itu.
Kelima, Pengetahuan tentang sains
        Misalnya kita lihat dalam bidang biologi, fisika, kimia dan lain sebagainya yang sekarang ini berkembang begitu pesat. Kita harus memiliki kemampuan tertentu mengenai pengetahuan­-pengetahuan ini. Cobalah perhatikan betapa pesatnya perkembangan sains, misalnya dalam bidang biologi. Kita harus memiliki pengetahuan tertentu ilrnu tentang janin, tentang kloning dan lain-lain.  Saat ini masalah kloning berkembang begitu pesat. Sebagian ilmuwan mengembangkan kloning dari binatang kemudian ingin mencoba kloning itu pada manusia. Kita harus tahu bagaimana mereka mengembangkan rekayasa genetika seperti itu. Mereka mengembangkan bukan hanya pada hewan tetapi mereka sudah mulai berpindah pada manusia. Kita harus memahami perkembangan pengetahuan itu dan mencoba menemukan apa dan bagaimana kita bersikap terhadap temuan-temuan tersebut.
        Contoh lainnya, kita harus memahami bidang biologi (teknologi) tranplantasi organ tubuh manusia. Kita harus mengetahui bagaimana hakikat masalah tersebut dan mencoba mencari jawabnya di dalam syari’at. Kita harus mempunyai pengetahuan tertentu dalam masalah-masalah itu, karena Allah Swt. yang menyuruh kita untuk membaca semua fenomena langit dan bumi, untuk membaca semua fenomena yang terjadi di sekeliling kita, sehingga dengan begitu kita mempunyai pengetahuan yang utuh dan tidak terbelah-belah.
Keenam, Pengetahuan tentang realitas kehidupan
        Kita harus mengetahui siapa musuh kita, siapa yang membenci kita, apa yang sedang terjadi di sekeliling kita, dan bagaimana peristiwa ini diarahkan kepada satu titik penyelesaian. Kita harus mengetahui semua kejadian itu, karena hanya dengan mengetahui realitas seperti ini kita dapat mengetahui bagaimana seharusnya kita mengentri realitas itu dengan cara dan nila-nilai yang ingin kita bawa. Kita tidak bisa mengentri realitas kehidupan kita kecuali apabila kita mengetahui realitas dengan baik.
        Dengan pengetahuan yang utuh seperti ini kita dapat mengetahui bahwa di dalam Islam kita diajarkan untuk tidak membedakan atau memisahkan antara iman dan akal. Kita tidak pernah membedakan antara hati dan akal, kita selalu mengutuhkan kedua-duanya sekaligus. Kita tidak pernah melakukan pemisahan-pemisahan itu. Karena Allah Swt. senantiasa menantang kita dengan mengatakan, ”datangkanlah dalil-­dalilmu. Mana dalilmu tentang segala sesuatu”. Dengan perintah untuk memiliki dalil seperti itu membuat kita tertantang untuk selalu mempunyai dalil terhadap semua yang kita katakan atau dengan kata lain kita mempunyai basis dan alasan yang kuat atas semua yang kita katakan dan untuk semua yang kita lakukan.
        Dengan demikian, kita akan memberikan kontribusi yang benar-benar mendalam di dalam kehidupan ini. Dengan demikian juga, kita akan mempunyai pengaruh yang kuat. Artinya, kita tidak boleh mempunyai pengetahuan standar atau asal, yaitu pengetahuan yang hanya pinggiran dan tidak mendalam. Kita harus mempunyai pengetahuan yang terstruktur agar pengetahuan kita benar-benar mampu membuat kita mempengaruhi orang lain dengan cara yang kuat.
        Saat ini banyak orang memahami bahwasanya dengan semangat yang kuat dengan keikhlasan yang kuat mereka mampu merubah kehidupan mereka. Mereka melakukan itu tidak dengan kata-kata, namun dengan ilmu mereka yang sangat kuat, sehingga ilmunya menjadi amal. Artinya, hanya pengetahuan yang benar­-benar dalam yang membuat kita memahami realitas diri dan memberikan kontribusi secara penuh.
        Kita mempunyai para budayawan-budayawan yang kuat, kita mempunyai or­ang-orang dan pemimpin-pemimpin yang berwawasan luas. Karena itu merupakan salah satu kekuatan dan pesona kita kepada orang lain. Jangan sampai kita berdakwah dalam ranah yang begitu luas tetapi kita membawa akal awam di dalam diri kita. Jangan sampai cara berpikir awam yang simpul, sederhana dan tidak obyektif seperti itu yang menguasai cara kita memahami peristiwa­-peristiwa di dalam kehidupan kita dan kemudian berbicara kepada orang lain dengan akal awam itu.
        Umat yang di dalam kitabnya ada ayat Iqro‘, ayat yang pertama kali turun ini tidak boleh memiliki akar pengetahuan seperti orang awam. Kita harus memiliki akar pengetahuan cendikawan, akar pengetahuan ulama’ yang kuat. Karena hanya dengan begitulah kita bisa memahami dan memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap kehidupan kita, dan dengan demikian kita ingin menjadikan obyektifitas dalil dan basis pengetahuan yang kuat ini sebagai salah satu tulang punggung kekuatan gerakan dakwah dalam menjemput kejayaan peradaban baru dunia, insya Allah.
        Dengan susunan pengetahuan yang kuat, struktur pengetahuan yang rapi maka seorang muslim, terutama aktivis pemuda Islam, senantiasa menghadapi segala sesuatunya dengan pikiran yang jernih, obyektif dan memiliki kemampuan untuk memahami sesuatu itu, dan karenanya mampu menentukan sikap yang paling tepat dalam menghadapi sesuatu.
        Rasulullah Saw. bersabda,
        “Janganlah engkau menjadi orang yang suka mengikuti orang lain, apabila mereka menjadi  baik maka kamu juga menjadi baik dan apabila mereka buruk  kamu juga buruk. Tapi kamu harus memiliki pendirian, apabila mereka baik kamu menjadi baik dan apabila mereka buruk kamu tidak melakukannya”.
        Jadi dengan begitu kita tidak menjadi seperti orang awam yang senantiasa menerima apa saja yang ditawarkan kepada mereka tanpa memiliki kemampuan memahami dan mengkritisinya.
        Selanjutnya, yang mesti juga kita pahami adalah bahwa apa yang diperoleh dari proses pembelajaran itu, kita publikasikan ke ruang publik melalui eksperimentasi ilmu dalam proses penyelesaian masalah-masalah yang sedang dan dibutuhkan oleh publik. Metodenya bisa dengan dialog atau seminar terbuka lewat media cetak maupun elektronik. Artinya, kemampuan bekerja dan berdialog di ruang publik untuk mengamalkan ilmu dan merasionalisasikan ide-ide cerdas mesti menjadi pilihan. Hal ini dilakukan sebagai publikasi sekaligus sebagai uji coba daya kekuatan atau kemampuan gagasan generasi muda atau umat Islam dalam membentuk sudut pandang umat dan opini masyarakat umumnya.

Renungan Akhir
        Kerja-kerja itu memang sulit dan serba rumit. Tetapi kesabaran dan kesungguhanlah yang membuat kita tahan banting dan terus melangkah. Yang paling penting untuk dimiliki dalam konteks ini adalah meningkatkan kualitas diri agar kita mampu bertahan.
        Dalam Risalatu Ta’lim Hasan al-Banna mengingatkan kita, “hendaklah kalian bersungguh-sungguh meningkatkan kapasitas dirimu, hingga tongkat kepemimpinan itu diserahkan pada kalian yang memiliki kualitas”. Setelah itu, biarkanlah masa depan yang akan menyaksikan usaha-usaha yang telah kita tunaikan; jika tidak di sini (di dunia ini), nanti di sana kelak (di akhirat sana); Semoga! []